Jumat, 14 Maret 2014

4. SEJARAH DRAMA DAN TEATER

4. SEJARAH DRAMA DAN TEATER

A.    Perkembangan Taraf Awal
Sastra drama di Indonesia ditulis pada awal abad 19, tepatnya tahun 1901, oleh seorang peranakan Belanda bernama F. Wiggers, berupa sebuah drama satu babak berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno. kemudian bermunculanlah naskah-naskah drama dalam bahasa Melayu Rendah yang ditulis oleh para pengarang peranakan Belanda dan/ atau Tionghoa.
Di Indonesia pada awalnya dikenal ada dua jenis teater, yaitu:
1.      Teater klasik
Teater kalsik lahir dan berkembang dengan ketat di lingkungan istana, jenis teater klasik lebih terbatas, dan berawal dari teater boneka dan wayang orang. Teater boneka sudah dikenal sejak zaman prasejarah Indonesia (400 Masehi). Teater klasik sarat dengan aturan-aturan baku, membutuhkan persiapan dan latihan suntuk, membutuhkan referensi pengetahuan, dan nilai artistik sebagai ukuran utamanya.



2.       Teater rakyat
Teater rakyat tak dikenal kapan munculnya. Teater rakyat lahir dari spontanitas kehidupan masyarakat pedesaan, jauh lebih longgar aturannya dan cukup banyak jenisnya. Teater rakyat diawali dengan teater tutur. Pertunjukannya berbentuk cerita yang dibacakan, dinyanyikan dengan tabuhan sederhana, dan dipertunjukkan di tempat yang sederhana pula. Teater tutur berkembang menjadi teater rakyat dan terdapat di seluruh Indonesia sejak Aceh sampai Irian. Meskipun jenis teater rakyat cukup banyak, umumnya cara pementasannya sama. Perlengkapannya disesuaikan dengan tempat bermainnya, terjadi kontak antara pemain dan penonton, serta diawali dengan tabuhan dan tarian sederhana. Dalam pementasannya diselingi dagelan secara spontan yang berisi kritikan dan sindiran. Waktu pementasannya tergantung respons penonton, bisa empat jam atau sampai semalam suntuk.
Contoh-contoh teater rakyat adalah sebagai berikut:
1)      Makyong dan Mendu di daerah Riau dan Kalimantan Barat,
2)      Randai dan Bakaba di Sumatera Barat,
3)      Mamanda dan Bapandung di Kalimantan Selatan,
4)      Arja, Topeng Prembon, dan Cepung di Bali,
5)      Ubrug, Banjet, Longser, Topeng Cirebon, Tarling, dan Ketuk Tilu di Jawa Barat,
6)      Ketoprak, Srandul, Jemblung, Gatoloco di Jawa Tengah,
7)      Kentrung, Ludruk, Ketoprak, Topeng Dalang, Reyog, dan Jemblung di Jawa Timur,
8)      Cekepung di Lombok,
9)      Dermuluk di Sumatera Selatan dan Sinlirik di Sulawesi Selatan,
10)  Lenong, Blantek, dan Topeng Betawi di Jakarta dan sebagainya,
11)  Randai di Sumatera Barat.


            Pada dasarnya, drama pada perkembangan taraf awal hanya berupa:
  1. Kegiatan ritual keagamaan (bersifat puitis, melafalkan mantra-mantra).
  2. Pemvisualan dalam bentuk tari dan musik.
  3. Jenis tontonan, pertunjukan, hiburan tetapi cerita bukan masalah utama, cerita berupa mitos atau legenda. Drama bukan cerita tetapi penyampaian cerita yang sudah ada.
  4. Dilakukan oleh kalangan tertentu karena sebagai kegiatan yang khidmat dan serius.
  5. Kekaguman terhadap pemain karena sifat supernatural.
  6. Cerita bersifat sakral, maka diperlukan seorang pawang ada persyaratan dan aturan ketat bagi pemain dan penonton tidak boleh melanggar pantangan, pamali, dan tabu.
  7. Sebagai pelipur lara.
  8. Sebagai sarana mengajarkan ajaran agama  (Hindu, Budha, Islam).
  9. Melahirkan kesenian tradisional. Ciri-ciri kesenian tradisional menurut Kayam 1981: 44 kesenian tradisional-termasuk didalamnya teater-yaitu bentuk kesenian yang yang hidup dan berakar dalam masyarakatdaerah yang memelihara suatu tradisi bidaya daerah, akan memiliki ciri-ciri ketradisionalan dan kedaerahan. Ciri-ciri kesenian tradisional, yang di dalam pembicaraan ini dimaksudkan sebagai teater tradisional, menurut Umar Kayam adalah:
a.       Ruang lingkup atau jangkauan terbatas pada lingkungan budaya yang mendukungnya.
b.      Berkembang secara perlahan sebagai akibat dari dinamika yang lamban dari masyarakat tradisional.
c.       Tidak spesialis.
d.      Bukan merupakan hasil kreativitas individu, tetapi tercipta secara anonim bersama dengan sifat kolektivitas masyarakat yang mendukungnya.
  1. Sebagai konsekuensi kesenian tradisional, teater tradisional mempunyai fungsi bagi masyarakat. Fungsi yang dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnyalah yang menyebabkan salah satu faktor mengapa teater tradisional ini tetap bertahan di dalam masyarakatnya. Fungsi teater tradisional sebagaimana kesenian lainnya bagi masyarakat pendukungnya adalah seperti dirumuskan berikut ini:
a.       Sebagai alat pendidakan (topeng jantu dari Jakarta untuk nasehat perawinan/rumah tangga)
b.      Sebagai alat kesetiakawanan sosial.
c.       Sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial.
d.      Alat melarikan diri sementara dari dunia nyata  yang membosanakan.
e.       Wadah pengembangan ajaran agama.








B.     Pengaruh Kepercayaan ( Hindu, Buddha, Kristen, dan Islam) pada Drama
 Tradisi teater sudah ada sejak dulu dalam masyarakat Indonesia,karena pada saat itu masyarakat Indonesia yang masih menganut paham/kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme,  maka dari itu setiap upacara adat dan keagamaan teater selalu dipentaskan untuk mengiringi upacara tersebut. Teater biasanya dipertunjukkan di pesta perkawinan,selamatan dan sebagainya. Adapun fungsi teater saat itu adalah sebagai:
1.      pemanggil kekuatan gaib,
2.       menjemput roh pelindung untuk hadir di tempat pertunjukan,
3.      memanggil roh baik untuk mengusir roh jahat,
4.      peringatan nenek moyang dengan mempertontonkan kegagahan/kepahlawanan,
5.      pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat hidup seseorang, dan
6.      pelengkap upacara untukk saat tertentu dalam siklus waktu.

C.Perkembangan Drama Pada Masa Kolonial dan Jepan
1.      Belanda
Sepanjang tahun 1930-an para dramawan pribumi kita umumnya adalah sastrawan yang tidak begitu akrab dengan seni pertunjukan sehingga naskah-naskah yang mereka buat digolongkan dalam drama kamar, jenis yang lebih merupakan bacaan daripada bahan pementasan. Para sastrawan muda angkatan Sanusi Pane mendapatkan pendidikan di sekolah menengah Belanda yang memberikan pengetahuan mengenai kesenian sekitar tahun 1880-an di negeri itu. Itulah sebabnya angkatan 1880-an yang muncul di negeri Belanda menjadi acuan bagi perkembangan drama romantic di Indonesia. Dalam rangka pengaruh itu, muncullah drama-drama yang menunjukkan perhatian mereka terhadap masa lampau dan negeri asing seperti Sandyakalaning Majapahit yang berlatar zaman klasik dan Manusia baru  yang berlatar negeri asing untuk mengungkapkan idialisme dan simpati mereka terhadap kaum tertindas.
2.      Jepang
Dalam Periode Drama Zaman Jepang setiap pementasan drama harus disertai naskah lengkap untuk disensor terlebih dulu sebelum dipentaskan. Dengan adanya sensor ini, di satu pihak dapat menghambat kreativitas, tetapi di pihak lain justru memacu munculnya naskah drama. Perkembangan drama boleh dikatakan praktis berubah ke arah lain ketika pada awal tahun 1940-an para pemerintah Jepang menguasai militer Indonesia dan menentukan dengan tegas bahwa segala jenis seni, tak terkecuali pertunjukkan, harus dipergunakan sebagai alat propaganda untuk mendukung gagasan Asia Timur Raya. Sensor sangat ketat dari pemerintah militer Jepang menyebabkan dramawan kita tidak bias berbuat lain kecuali mematuhinya dengan menghasilkan sejumlah drama yang dianggap bisa menyebarluaskan gagasan dasar Asia Timur Raya, tujuan utama Jepang dalam melakukan ekspansi ke Asia Timur dan Tenggara. Dengan demikian  muncullah drama seperti karya Merayu Sukma, Pandu Pertiwi. Karya Merayu Sukma jelas-jelas menggunakan simbol-simbol dalam rangka menyebarluaskan gagasan militerisme, suatu hal yang pada dasarnya dilakukan juga oleh Rustam Efendi dalam Bebasari, tetapi tujuan penulisannya berbeda, bahkan berlwanan. Bebasari adalah drama yang mempropogandakan gagasan kemerdekaan sebagai lakon simbolis sementara Pandu Pertiwi adalah drama yang memaksakan pelaksanaan gagasan militerisme Jepang. Persamaannya adalah keduanya menggunakan simbol-simbol dalam teknik penulisannya.

C.     Perkembangan Drama Pada Masa Modern
Pada Periode Drama Sesudah Kemerdekaan naskah-naskah drama yang dihasilkan sudah lebih baik dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sudah meninggalkan gaya Pujangga Baru. Pada saat itu penulis drama yang produktif dan berkualitas baik adalah Utuy Tatang Sontani, Motinggo Boesye dan Rendra. Pada Periode Mutakhir peran TIM dan DKJ menjadi sangat menonjol. Terjadi pembaruan dalam struktur drama. Pada umumnya tidak memiliki cerita, antiplot, nonlinear, tokoh-tokohnya tidak jelas identitasnya, dan bersifat nontematis. Penulis-penulis dramanya yang terkenal antara lain Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dan Riantiarno.
Kini kita berpaling ke drama-drama modern yang menggunakan naskah. Kiranya sukses drama tradisional dalam kemandiriannya tidak dapat diwarisi oleh grup-grup drama modern. Walaupun begitu kehadiran mereka dalam khasanah sastra Indonesia merupakan fenomena yang tidak dapat dilupakan. Kita kenal nama-nama besar seperti Bengkel Teater, Teater Populer, Teater Starka, Teater Alam, dan sebagainya. Profesionalisme dalam berkesenian belum cukup untuk menjawab tantangan jaman. Dibutuhkan pengelola keuangan dan organisator yang mampu memanjangkan nafas hidup group-group teater modern. Paling tidak teater modern membutuhkan impresario atau tokoh semacam itu.
Di berbagai kota, banyak dramawan-dramawan muda yang masih memiliki idealisme tinggi meneruskan kegiatan berteater meskipun secara finansial tidak menjajikan perbaikan nasib. Di Surakarta, kehidupan Taman Budaya Surakarta (TBS) dimotori oleh dramawan-dramawan muda, seperti Hanindrawan, Sosiawan Leak, dan dramawan-dramawan muda dari 9 fakultas di UNS, serta dari perguruan tinggi lain di Surakarta.

3.PERSIAPAN UNTUK SEORANG PEMAIN

3. PERSIAPAN UNTUK SEORANG PEMAIN
1.   Aktor
Sebuah pertunjukan drama atau teater membutuhkan seorang pemeran/pelakon/aktor. Melalui pelakon inilah drama atau teater berlangsung. Melalui pelakon nilai-nilai drama bisa terungkap. Melalui pelakon konflik dalam drama bisa diwujudkan.
Seorang pelakon, menjadi ‘alat’ untuk menghidupkan teks drama yang ditulis oleh seorang penulis naskah drama.  Kehadiran pelakon, menjadi penting dari teks drama itu sendiri. Karena melalui pelakon, wujud teks drama bisa  hidup.
Namun bagaimana seorang pelakon mampu menghidupkan teks drama itu dalan kenyataan teater? Inilah yang menjadi menarik kita bicarakan. Karena bagimanapun seorang pelakon adalah tetaplah pribadi  yang utuh, yang mungkin berbeda dengang tokoh yang ada dalam teks drama. Artinya, seorang pemeran atau pelakon atau aktor/aktris adalah seniman yang dengan profesi dan prestasinya tidak terlepas dari unsur-unsur kemanusiaan yang umum.
Fungsinya dalam sebuah pertunjukan drama, seorang pelakon juga menjadi penafsir dan mewujudkannya dalam tafsir peran yang telah ditemukan, secara sadar melibatkan diri dalam keutuhan kerja ensambel.
Pun demikian, kerja penafsiran ini, tetaplah tidak lepas dari konsep peran yang telah digariskan sutradara berdasarkan naskah, serta mengembangkannya dalam kenyataan teater (saat pertunjukan berlangsung). Melaksanakan kerja sama dengan pemeran lain serta semua unsur produksi dalam kerja ensambel.
Pada dasarnya tidak sesederhana itu tugas dan fungsi aktor atau pelakon dalam sebuah pertunjukan drama. Masalah yang dihadapi oleh seorang pelakon, memang agak unik. Seorang pelakon berada dalam posisi antara ketegangan tokoh (teks) dan pribadi (pelakon) yang utuh sebagai manusia yang punya latar belakang kejiwaan sendiri.
Dengan penguasaan teknik pemeranan, seorang pelakon harus mendayagunakan dan menyatukan secara proporsional seluruh peralatan pemeranannya. Dengan modal ketrampilan dan bakat yang dipunyai ia harus mampu menampilkan gagasan menjadi wujud watak-watak yang nyata, dengan efek yang diperhitungkan bagi penontonnya.
Karena itu, seorang pelakon dituntut untuk bisa mengevaluasi dirinya sendiri  dan dalam hal ini ia harus (bisa) mengembangkan apa yang disebut sebagai  ‘double vision of himself’ (berperan ganda), yaitu sebagai (a)‘creator of role’ (sebagai pencipta peran) dan sebagai (b) ‘the embodiment of a character.’ (mewujudkan karakter)
a.   Sebagai kreator atau pencipta peran, ia tetaplah individu yang hidup dan menyumbangkan kepekaan seninya dalam kerja kolektif seni teater. Sebagai individu ia juga adalah wakil pribadi sutradara yang ingin membentangkan renungan seorang pengarang.
b.   Sebagai pelakon (bagian dari seni drama) ia dituntut untuk menghidupkan naskah di atas pentas (mewujudkan karakter). Sebagai ‘alat artistik’ ia kadang-kadang bertindak sebagai benda mati dan menuruti perintah dari yang ‘memperalatnya.’
Mengingat begitu pentingnya seorang pelakon, ia dituntut untuk memenuhi (memiliki) kualitas-kualitas tertentu. Karena itu, pelakon juga dituntut  tidak sekedar mengembangkan talent, skill, creativity, tetapi juga menunjukan personality seorang pemain.
Untuk mencapai itu, seorang pelakon harus mempunyai: kempuan, mau belajar, dan latihan secara kontinyu. Pegangan pokok seorang pelakon adalah: belajar, berkarya, berdisiplin dan bertanggungjawab, mempertahankan kepribadiannya.
Seorang pemeran harus selalu belajar meningkatkan daya tangkapnya terhadap ide-ide sutradara dan belajar membuat ide-ide yang akan disodorkannya dalam sebuah latihan.
Karenanya menjadi pelakon perlu memiliki sumberdaya dasar yang harus dijaganya yaitu: jasmani dan rohani. Menguasai sumberdaya dasar ini sangat penting, sebelum seorang pelakon memasuki ‘peran’ yang sebenarnya.
2.   Fisik Aktor
Seorang aktor bekerja dengan fisiknya. Ia hadir dalam ruang pertunjukan sebagai sosok yang plastis. Ia hadir bukan lagi sebagai dirinya tetapi sebagai ‘orang lain’ yang direpresentasikan lewat gerak tubuh, mimik, dan emosi.
Fisik seorang aktor adalah alat utama yang harus dikuasai atau dilatih sehingga mampu hadir sebagai sosok yang meruang dalam sebauh pertunjukan drama.
Penguasaan fisik ini meliputi: penguasaan tubuh/badan. Seorang aktor harus menguasai kelenturan tubuhnya, ketegangan dan kekendoran otot-ototnya.
Seorang aktor perlu menguasai anggota tubuh/badannya yang meliputi penguasaan terhadap jaringan-jaringan otot kepala, tangan, kaki dan lain sebagainya.
Seorang aktor juga perlu memiliki kualitas suara yang baik. Hal ini meliputi dengan kualitas pernapasan, kualitas vokal, pengucapan, resonansi, dan ragam warna vokal.
Pancaindra seorang aktor juga perlu diasah dalam kaitannya dengan kepekaan-kepekaan menangkap fenomena di atas pentas (kenyataan panggung). Panca indra itu melingkupi daya pengelihatan, pendengaran, penciuman, perasaan kulit panas dingin dan perasaan lidah, dan lain sebagainya.
Untuk mendapatkan fisik yang baik, seorang aktor perlu mempersiapkan dengan latihan: olah tubuh, olah vokal, dan olah panca indra (kepekaan)
Latihan olah tubuh terdiri dari latihan-latihan yang meliputi ; peregangan otot, melatih kelentukan tubuh terutama tulang punggung, melatih persendian, dan memperkuat stamina.
Latihan olah vokal terdiri dari latihan-latihan dasar yang meliputi: latihan pernafasan, pemanfaatan suara, dan latihan pengucapan, artikulasi dan diksi.
Tubuh dan gerakan seoarang pelakon sering dipersoalkan karena terkadang seorang pelakon berdiri, berjalan, dan bergerak tampak kaku. Karena itu, tubuh, gerstur, mimik adalah juga alat bicara.
Gerakan tubuh tertentu dapat menunjukan kejemuan, kegembiraan, duka, kejengkelan, dan lain sebainya. Bahkan dalam gerakan tertentu menyarankan perwataknyannya; seorang tua, penggelisah, tidak sabar.
Banyak sekali calon pemain yang merasa kikuk dan kaku bergerak diatas pentas, meskipun diluar pentas ia mampu bergerak dengan luwes sekali. Namun ketika diatas pentas, meletakan tangan, kaki, dan dirinya dalam satu posisi tertentu saja terkadang begitu tidak wajar, bahkan cenderung kaku.
Sebab itu seorang calon pemain harus berlatih rilek. Untuk bisa rilek di atas panggung, seorang pemeran harus menguasai pernapasan. Dengan menguasai pernapasan tubuh menjadi rilek, rasa kikuk dan kaku hilang. Bahkan dengan penguasaan tubuh yang baik, seorang pemeran akan mampu menyampaikan aktingnya dengan wajar.
Seorang pelakon perlu memiliki tubuh yang siap mengabdi pada akting. Dan karenanya menyiapkan tubuh yang lentuk untuk kondisi apapun perlu dimiliki oleh seorang pelakon.
3.   Rohani Aktor
Rohani seoarang pelakon, sesuatu yang tidak begitu saja tampak dalam panggung. Karena rohani aktor meliputi faktor internal pelakon yang ada dalam diri pribadi. Tetapi tidak bisa dibohongi, pancaran rohani ini akan tetap membekas dalam sebuah praktik pemeranan. Karenanya menjadi pelakon, pengalaman rohani akan memberikan kualitas keaktorannya.
Penguasaan sarana rohani itu meliputi, pikir dan rasa, yang di dalamnya terdapat masalah etika (sikap hidup dan moral), daya intelegensia (sikap pemikiran dan logika yang wajar), dan masalah estetika (memiliki kepekaan pada keindahan).
Untuk mampu menggali rohani, seorang pelakon perlu melakukan latihan-latihan diantaranya latihan konsentrasi.  Konsentrasi adalah suatu kesanggupan yang memungkinkan seorang pelakon mampu mengerahkan semua kekuatan rohani dan pikiran ke arah sasaran yang jelas dan melanjutkannya secara terus menerus selama dikehendaki.
Dasar dari ajaran konsentrasi adalah penguasaan diri sendiri, sedangkan upaya penguasaan diri sendiri itu hanya dapat dicapai melalui telaah diri dan berlatih secara mandiri.
Selain penguasaan diri sendiri, seorang pelakon harus mampu menggali emosi-emosi yang mungkin sudah terkubur dalam ingatan. Inilah yang disebut ingatan emosi.
Ingatan emosi sangat dibutuhkan oleh seorang pelakon pada saat ia merepresentasikan emosi-emosi tertentu bagi kelangsungan peran yang sedang dijalankan. Untuk mewujudkan itu bukanlah pekerjaan mudah. Karena itu, seorang pelakon dituntut bisa menggali emosi-emosi dalam dirinya yang mungkin bersesuai dengan peran yang sedang di bawakan.
Iangatan emosi adalah perangkat sang pelakon untuk bisa mengungkap atau melakukan hal-hal yang berada di luar  dirinya-berdasar pada telaah pada diri, bertelaah pada sumber-sumber motivasi atau lingkungan motivasi yang bisa diamati dan dimanfaatkan sebagai sumber akting.
4.   Aktor dan Naskah
Dimana posisi aktor, pemeran atau pelakon, ketika teks drama itu diwujudkan dalam suatu pertunjukan?
Aktor atau seniman pemeran adalah seniman yang mewujudkan peran lakon (sosok-sosok pelaku di dalam sebuah cerita atau lakon) kedalam realita seni pertunjukan.
Tugas seorang pelakon adalah menafsiran tokoh yang sedang diperankan. Penafsiran ini tak lepas dari kemampuan pelakon untuk menggali ide-ide pengarang terhadap tokoh dalam teks drama.
Menafsirkan tokoh adalah menggali seluruh kemungkinan watak/karakter, idea-idea tokoh dalam kaitannya dengan seluruh tokoh-tokoh yang hadir dalam rentang waktu drama berlangsung.
Namun sebagai seniman ia tidak bisa lepas dari unsur-unsur kemanusiaan yang umum, dan juga fungsinya sebagai manusia utuh dalam lingkungan serta tata nilai tempat ia hidup dan berkarya. Karena itu, aktor dalam kedudukannya sebagai manusia yang hadir mewakili tokoh teks drama, menjadi sulit ketika terjadi tarik-menarik dirinya dan tokoh yang sedang diperankan.
Karena itu keberadaan seorang pelakon di tengah kegiatanya sebagai seniman penampil, tergantung kemampuan mengolah tiga unsur pokok yang ada pada dirinya. Ketiga unsur tersebut adalah ‘Pelakon dan dirinya’, ‘Pelakon dan lakon’, ‘Pelakon dan produksi.’
Pelakon dan dirinya, mengacu pada posisinya dalam seni peran. Yang menjadi media seni peran adalah diri pelakon itu sendiri. Yang dimaksud diri adalah tubuh dan sukmanya (bukan tubuh dan sukma tokoh yang sedang diperankan).
Pelakon dengan dirinya adalah pelakon dengan seluruh sumber daya yang dimilikinya. Termasuk di dalamnya panca indra, anggota tubuh, vokal (suara), imajinasi, emosi, daya ingat, dan intelegensia.
Semuannya itu adalah alat untuk menyampaikan pesan-pesan, idea-dea tokoh yang ada dalam teks drama. Namun bagaimana pesan-pesan atau idea-idea tokoh itu mampu hadir pada penonton dalam pengertian yang utuh, bukan sebagai sosok dirinya tetapi sebagai sosok tokoh yang sedang diperankan?
Inilah yang dimaksud dengan ‘Pelakon dan lakon’. Dimana posisi si aktor (diri) dalam menghadapi diri yang lain dalam sebuah lakon. Sebagai Pelakon ia juga harus bekerja sama dengan perangkat-perangkat di luar dirinya (pelakon) dan diri (tokoh dalam teks drama).
Pelakon  harus tahu bagaimana sebuah naskah ditafsirkan agar ia mengerti penafsiran yang diberikan padanya oleh sutradara. Menghadapi sebuah naskah, mula-mula secara kasar seorang pelakon, mencoba mencari  apa yang disebut ‘dramatic material’, yaitu segala sesuatu yang ada di dalamnya atau disarankan olehnya: ucapan-ucapan, watak, tata pentas, ide-ide, dan lain-lain.
Bahan dramatik ini lalu digolongkan pada apa yang disebut ‘nilai-nilai’ untuk para penonton. Nilai-nilai itu bisa terdiri dari; nilai-nilai intelektual, nilai emosional, dan nilai abstrak.
Pemeran akan menghadapi dua nilai yaitu: intrinsik yang terkandung dalam naskah dan ekstrinsik (di luar naskah) seperti dengan dirinya sendiri, sutradara, aktor lain, pentas, setting, property, dan lain-lain.
Dalam menghadapi naskah pelakon perlu melakukan hal-hal: A. Analisa pikir dan rasa terhadap gambaran watak yang akan dibawakannya. B, identifikasi terhadap watak. C, personifikasi terhadap watak yang akan dibawakannya. D, hadir dalam pentas dengan bantuan sutradara. E, latihan diluar latihan.
5.   Aktor dan Vokal
Vokal, suara dan cakapan sering disebut kendaraan imajinasi. Karena itu vokal atau suara aktor sangatlah menentukan bagaimana imajinasi itu sampai kepenonton dengan kadar yang meyakinkan.
Secara formal unsur suara dalam pemeranan biasa disebut sebagai vokal untuk membedakan dari pengertian bunyi yang umum.
Fungsi vokal (suara) yaitu sebagai perangkat ekspresi manusia. Sebagai perangkat ekspresi pemeran, vokal telah bertambah fungsi dan takarannya, menjadi alat yang bisa dibentuk dan dimainkan, dalam rangka untuk mewujudkan gambaran lengkap sosok peran.
Namun pada dasarnya setiap aktor mempunyai daya lontar vokal yang memadai juntuk berekspresi. Selain itu muatan emosi vokal masing-masing aktor juga berbeda-beda.
Sebelum menentukan casting ada baiknya seorang pemeran dinilai suaranya. Dengan suara yang berkualitas baik, idea-idea drama dimungkinkan sampai pada penonton. Tidak hanya terdengar indah, tetapi kualitas suara bisa juga mempengarui suasana batin penonton yang mendengarnya.
Suara pemain adalah bagian yang palingkhas dan telanjang dalam pemeranan. Kedudukannya tidak bisa diakal-akali (dikamuflase) atau ditambal sulam dengan teknik lain.
Olah vokal, suara dan pengucapan mengacu pada kemampuan berbicara dengan kadar emosi tertentu, sederhana dan terpancar dari hati.
6.   Aktor dan Ruang
Yang dimaksud ruang adalah atmosfir. Atmosfir teater terjadi atas empat usur: naskah, pemain, tempat pertunjukan dan penonton yang ‘berinteraksi’ dalam satu kesatuan waktu tertentu.
Atmosfir teater bisa tercipta bila sebuah naskah lakon dipertunjukan dengan tingkat permainan secara optimal, bertenaga dan berpengaruh. Untuk mencapai itu, perlu kerja ensemble antar unsur artistik teater yang dipandu oleh seoarang sutradara.
Sebagai aktor, ia harus mampu berada dalam ruang tersebut. Atau dalam istilahnya laku meruang. Laku ini berada dalam posisi yang pas antara keseluruhan irama, tempo, permainan, dalam satu kesatuan waktu.
Teater merupakan satu kesatuan unsur idea (naskah), permainan, tempat bermain dan penonton. Maka laku dan kata yang meruang itu artinya lahir dari seni akting dan penguasaan vokal yang mampu berkomunikasi dengan penontonnya.
Ruang dalam teater adalah media yang hidup dan dihidupkan secara insani, karena itu ia adalah sarana ekspresi yang harus diperlakukan secara kreatif.
Tugas utama seorang pemeran/pelakon adalah membawakan peran sesuai dengan porsi yang tersedia untuknya. Laku pentas yang meruang mengandung arti karya pemeran tersebuyt telah memenuhi standar kelayakan karya seni, baik secara teknis telah memiliki tiga unsur utama; membawa penjelasan, memperlihatkan suatu pengembangan, dan mengacu pada suatu kesatuan (unity).
7.   Aktor dan Aktor
Bermain drama adalah bekerjasama. Karena itu aktor hadir tidak lepas dengan keberadaan aktor-aktor lainnya yang memerankan tokoh lain. Karena itu, sebagai aktor juga harus mampu menempatkan diri diantara aktor-aktor yang lain.
Penempatan diri ini menyangkut bagaimana aktor mampu berinteraksi dengan baik, sehingga kerja aktingnya merupakan kerja komunikasi yang intens bersama aktor yang lain, sekecil apapun bentuknya.
Aktor, meski sedang menjalani sebagai peran utama (protagonis) harus tetap memahami posisi dan porsi peran-peran lain seperti peran antagonis, yang sangat bertentangan dengan peran yang sedang diperankan. Begitu sebaliknya.
Keberadaan aktor dalam sebuah pemeranan, tetap tidak akan lepas dari aktor lain. Karenanya dalam berakting seorang aktor harus mempertimbangkan perkembangan tokoh-tokoh yang lain, sehingga aktingnya dalam porsi yang pas.
Sebagai aktor ia harus mampu bekerjasama dengan aktor lain dalam mencapai tujuan sebuah drama. Pada intinya suksesnya permainan itu terletak pada kesempurnaan cara menanggapi di antara para pemain. Kecuali untuk adegan monolog, adegan ini tidak dihidupkan oleh seorang pemain saja, melainkan harus dibantu oleh pemeran-pemeran lainnya.
Dengan kata lain, seorang pemeran, tidak bisa berdiri sendiri di atas pentas. Aktingnya merupakan hasil kerjasama, memahami, merespon, mendengar, bersama pemeran-pemeran lain dalam rentang waktu yang sama.
Seorang aktor protagonis tidak akan hidup tanpa hadirnya aktor antagonis. Begitu pula sebaliknya. Coba sekarang bayangkan, betapa janggalnya bila masing-masing aktor ingin menonjolkan diri-sendiri dalam berperan di pertunjukan drama?
8.   Aktor dan Sutradara
Siapa sutradara? Apakah sutradara penting kehadirannya dalam sebuah pertunjukan drama, kalau aktor sendiri sudah mampu menafsirkan sebuah teks drama?
Apa yang dimaksud sutradara atau penyutradaraan di Indonesia pada umumnya tidak berpadanan dengan kata directing dalam bahasa inggris. Di Indonesia, jika seorang sedang menyutradarai, dia sedang tidak melakukan penyutradaraan, tetapi sedang mengajari bermain drama.
Sering kita jumpai, seorang sutradara menjadi penafsir utama dalam sebuah proses memahami peran dalam teks drama. Karenanya seorang aktor, (dalam kondisi tertentu) akan menjadi alat penyampai tafsir dari sang sutradara.
Kondisi ini justru akan menyulitkan aktor untuk mengembangkan permainannya, karena tuntutan tafsir dari sang sutradara. Meski tugas utama sutradara adalah menafsirkan naskah bukan berarti, segala tafsir harus berpangku padanya. Karena aktor tetaplah memiliki pribadi yang utuh untuk menafsirkan peran yang sedang disandangkan.
Karena itu, antara aktor dan sutradara perlu bekerja sama dalam fungsinya untuk mewujudkan tafsir teks drama yang selaras.
Sutradara sebagai penafsir utama dan aktor sebagai penafsir kedua, haruslah mempunyai tujuan yang sama. Sebagai panafsir utama, tugas sutradara memberikan dorongan kesadaran diri para pemain (penafsir kedua) agar dapat mengembangkan tafsir utama, menjadi motif aktingnya. Disini sutradara harus berusaha agar pemain menyadari bahwa hal itu sangat penting dalam pembentukan lakon.
Disinilah peran aktor sangat penting. Aktor tetap dituntut mampu mengembangkan intruksi-intruksi sutradara sesuai dengan tafsirnya.
Analisis isi, analisis struktur, anailis sosok peran yang telah dibuat sutradara, haruslah menjadi bagian yang memberi peluang dalam mengembangkan laku si aktor.
Dari analisis-analisis itulah nalar akan terbuka, dan daya kreatifpun akan bergetar, untuk menghayati secara mendalam dalam membawakan laku secara pas, dan melaksanakan peran dengan takaran yang berimbang dalam azas keutuhan, keseimbangan, dan keselarasan.
Epilog
Itulah persiapan yang harus dilakukan oleh seorang aktor. Tentunya persiapan ini sangat sederhana, dan masih bisa dikembangkan. Bergantung seberapa jauh kita menginginkan takaran keaktoran itu menjadi berbobot hingga pertunjukan lebih menarik.
Karena itu semua perpulang pada peserta workshop. Selebihnya mari kita diskusi dan berpraktik.

2. HAL DALAM KELENGKAPAN DRAMA

2. HAL DALAM KELENGKAPAN DRAMA 
a. Naskah Drama
Bila Anda akan mengadakan pertunjukan drama, yang dibutuhkan
pertama-tama adalah naskah drama. Naskah drama adalah karangan yang
berisi cerita atau lakon. Dalam naskah tersebut berisi nama-nama tokoh dalam
cerita, dialog yang diucapkan, keadaan panggung. Bahkan kadang-kadang
dilengkapi tentang tata busana, tata lampu dan tata suara(musik pengiring).
Naskah drama mengutamakan pembicaraan tokoh, penuturan ceritanya
melalui dialog. Permainan drama dibagi atas babak. Tiap babak berisi satu
peristiwa dengan waktu dan suasana tertentu.
Untuk memudahkan para pemain drama, naskah juga dilengkapi dengan
keterangan atau petunjuk. Petunjuk itu misalnya gerakan-gerakan yang
dilakukan pemain, tempat terjadinya peristiwa, benda-benda/peralatn yang
dibutuhkan setiap babak, dan sebagainya.
b. Pemain
Pemain adalah orang yang memeragakan cerita. Jumlah pemain akan
tergantung dari tokoh yang dipentaskan. Seorang pemain harus benar-benar
seperti tokoh yang dimainkan. Untuk itu, ia harus menguasai dan mampu
memerankan watak, tingkah dan busana lain yang mendukungnya.
c. Sutradara
Sutradara adalah pemimpin pementasan drama. Hal yang mula-mula
dilakukan seorang sutradara adalah memilih naskah (atau ditulis sendiri).
Naskah dibaca berulang-ulang untuk memahami cerita dan menafsirkan
bagaimana watak tokoh-tokohnya. Selanjutnya memilih pemain yang akan
memerankan tokoh dalam naskah. Pemain yang telah terpilih akan dibimbing
dan diarahkan oleh sutradara agar mampu memerankan tokoh dengan baik.
Selain itu, ia harus menunjuk penata rias, busana. lampu, dan suara. Pada
akhirnya ia harus bekerja sama dengan para petugas dan mengkoordinasikan
semua bagian.
d. Tata Rias
Tata rias adalah cara mendandani pemain. Orang yang mengerjakannya
disebut penata rias.
e . Tata Busana
Tata busana adalah pengaturan pakaian pemain baik bahan, model,
maupun cara mengenakannya. Tata busana erat sekali dengan tata rias,
sehingga tugas mengatur pakaian pemain sering dirangkap dengan penata
rias.
f. Tata Panggung
Tata panggung adalah pentas atau arena untuk bermain drama.
Biasanya letaknya di depan tempat duduk penonton dan lebih tinggi dari kursi
penonton. Tujuannya agar penonton yang duduk di kursi paling belakan g
dapat melihat apa yang ada di panggung.
Tata panggung adalah keadaan panggung yang dibutuhkan untuk
permainan drama. Panggung harus menggambarkan tempat, waktu dan
suasana terjadinya suatu peistiwa.
g. Tata Lampu
Tata lampu adalah pengaturan cahaya di panggung. Karena itu, lampu
erat sekali hubungannya dengan tata panggung. Pengaturan cahaya di
panggung harus menggambarkan keadaan /peristiwa yang sedang terjadi di
atas panggung.
h. Tata Suara
Tata suara bukan hanya pengaturan pengeras suara, melainkan musik
pengiring juga. Musik pengiring diperlukan juga agar suasana yang
digambarkan terasa lebih meyakinkan dan mantap bagi para penonton. Alat
musik yang biasanya digunakan, misalnya seruling, biola, organ, dan
sebagainya.
i. Penonton
Penonton termasuk unsur penting dalam pementasan drama. Siapakah
penonton? Penonton adalah orang-orang yang mau datang ke tempat
pertunjukan. Penonton pun dapat dikategorikan menjadi penonton iseng,
penonton peminat dan penonton penasaran.

2. Menentukan Tema, Judul, Kerangka Drama dan Menyusun
DialogNaskah
Bila tadi telah dibicarakan tentang bagaimana sebuah pementasan dan
unsur-unsur yang ada di dalamnya, lalu bagaimnakah cara menyusun dialog itu
sendiri? Seperti pada karya sastra lain, drama yang merupakan salah satu karya
sastra yang penyajiannya dengan dipentaskan memiliki tema yang merupakan
dasar cerita. Tema dapat diambil dari berbagai segi kehidupan manusia, baik itu
pengalaman pribadi ataupun pengalaman orang lain.
Judul yang telah Anda tetapkan setelah mengamati kehidupan di luar Anda
atau dari dalam diri Anda, dirumuskan menjadi judul yang dapat mewakili isi dari
tema yang ingin disampaikan.
Setelah melakukan kegiatan tersebut buatlah kerangka cerita drama,
misalkan:
Babak 1: Kenangan masa indah,
Babak 2: Pertengkaran idealisme,
Babak 3: Saat-saat terakhir perpisahan, dan sebagainya.
Kegiatan terakhir adalah susunlah naskah drama berdasarkan kerangka
yang telah Anda susun tadi.